Minggu, 06 November 2011

BAB III

Sebelum melakukan analisa terhadap teori kebangkrutan, maka akan dijelaskan dahulu mengenai definisi mengenai kebangkrutan.
Erick L. Kohler (1994) dalam A Dictionary of Accountants, merumuskan bahwa pengertian kebangkrutan adalah :
“Bankruptcy, The condition of being unable to pay one’s debt, Legal proceeding designed to declare a person formally bankrupt and to provide for the administration of his property in order to discharge his debts. The proceedings may be initiated either by the debtor or by his creditors”. 
(Kebangkrutan/, suatu kondisi dimana yang bersangkutan tidak mampu membayar kewajibannya, secara hukum dinyatakan bangkrut dan diharuskan untuk menjual kekayaannya/ asetnya untuk membayar kewajibannya. Pekerjaan tersebut dapat dilakukan oleh debitur maupun kreditur.)
Sebuah perusahaan dapat dikatakan bangkrut apabila nilai aktiva perusahaan tersebut sudah berada dibawah angka nominal utang atau pinjamananya.
Penelitian Sebelumnya
Beaver merupakan salah satu akademisi yang menjadi pioneer dalam meneliti kebangkrutan perusahaan dan penelitiannya sering dianggap sebagai batu loncatan pertama didalam penelitian kebangkrutan perusahaan. Pendekatan yang dipakai Beaver adalah univariat, yaitu setiap rasio, tanpa diikuti oleh rasio lainnya, diuji kemampuannya untuk memperkirakan kebangkrutan perusahaan. Altman (1968) mencoba memperbaiki penelitian Beaver dengan menerapkan multivariate linear discriminant analysis(MDA), suatu metode yang kerap dibuktikan memiliki keterbatasan. Teknik MDA yang digunakan oleh Altman merupakan suatu teknik regresi dari beberapa uncorrelated time series variables, dengan menggunakan cut-off value untuk menetapkan kriteria klasifikasi masing-masing kelompok. Kelebihan penggunaan menetapkan kriteria klasifikasi masing-masing kelompok. Kelebihan penggunaan teknik MDA ini adalah seluruh ciri karakteristik variabel yang diobservasi dimasukkan, bersamaan dengan interaksi mereka. Altman juga menyimpulkan bahwa MDA mengurangi jarak pengukuran/dimensionality dari para peneliti dengan menggunakan cut-off points. Pada umumnya, karena MDA mudah digunakan dan diinterpretasikan, MDA sering menjadi pilihan para peneliti corporate failure selama ini.
Hasil penelitian Beaver (1966), termasuk salah satu penelitian yang sering dijadikan acuan utama dalam penelitian tentang corporate failure. Beaver menggunakan 30 jenis rasio keuangan yang digunakan pada 79 pasang perusahaan yang pailit dan tidak pailit. Memakai univariate discriminant anlysis sebagai alat uji statistik, Beaver menyimpulkan bahwa rasio working capital funds flo to total asset dan net incom to total assets mampu membedakan perusahaan yang akan pailit dengan yang tidak pailit secara tepat masing-masing sebesar 90% dan 88% dari sampel yang digunakan.
Altman (1968), melakukan penelitian pada topik yang sama seperti topik penelitian yang dilakukan oleh Beaver tetapi Altman menggunakan teknik multivariate discriminant analysis dan menghasilkan model dengan 7 rasio keuangan. Dalam penelitiannya, Altman menggunakan sampel 33 pasang perusahaan yang pailit dan tidak pailit dan model yang disusunnya secara tepat mampu mengidentifikasikan 90% kasus kepailitan pada satu tahun sebelum kepailitan terjadi.
Penelitian dengan topik kebangkrutan/kepailitan perusahaan terus dilakukan oleh para peneliti, perkembangan terakhir penelitian dengan topik kebangkrutan atau kepailitan terletak pada alat uji statistiknya. Ohlson (1980) adalah peneliti pertama yang menggunakan analisa logit untuk memprediksi kepailitan. Pada penelitiannya, Ohlson menggunakan 105 perusahaan yang pailit dan 2058 perusahaan yang tidak pailit serta menemukan bahwa 7 rasio keuangan mampu mengidentifikasikan perusahaan yang akan pailit dengan tingkat ketepatan yang mendekati hasil penelitian Altman.      
Pentingnya persoalan corporate failure juga didukung oleh Krugman yang mengulas mengenai global financial downturns dan memasukkan teori balance sheet fundamentals sebagai signal dari krisis yang akan terjadi (Krugman, 1999).
Casterella, Lewis dan Walker (2000), menggambarkan suatu kerangka waktu urutan kejadian perusahaan yang mengalami kebangkrutan.
Casterella, Lewis dan Walker (2000) menjelaskan bahwa, setelah laporan audit dikeluarkan, dapat diketahui apakah perusahaan tergolong ke dalam perusahaan yang mengalami kebangkrutan. Hal ini diikuti dengan adanya periode reorganisasi (antara poin 3 dan 4). Periode ini dapat meluas sampai dengan periode tahun fiscal berikutnya. Periode reorganisasi diakhiri dengan keputusan apakah perusahaan akan dilikuidasi atau akan pulih. Mutchler (1985) mengungkapkan beberapa karakteristik dari suatu perusahaan bermasalah, antara lain perusahaan memiliki modal negative, arus kas negatif, pendapatan operasi negatif, kerugian pada tahun berjalan dan deficit saldo laba tahun berjalan.
The Altman Z-Score Analysis
Formula Z-Score untuk memprediksi kebangkrutan dikembangkan pada tahun 1968 oleh Edward I. Altman, seorang ekonom dan praktisi keuangan yang juga seorang profesor pada Leonard N. Stern School of Business di Universitas New York. Z-Score adalah sebuah formula yang menggunakan analisa multivariate yang digunakan untuk mengukur kesehatan keuangan sebuah perusahaan dan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya kebangkrutan dalam rentang waktu 2 (dua) tahun.
Altman (1968) menemukan bahwa perusahaan dengan profitabilitas serta solvabilitas yang rendah sangat berpotensi mengalami kebangkrutan. Ia mencoba mengembangkan suatu model prediksi dengan menggunakan 22 rasio keuangan yang diklasifikasikan kedalam 5 kategori yaitu likuiditas, profitabilitas, leverage, rasio uji pasar dan kativitas. Altman mengembangkan modelnya dengan menggunakan 33 perusahaan bangkrut dan 33 perusahaan yang tidak bangkrut. Sampai sekarang Z-Score lebih banyak digunakan oleh para peneliti, praktisi serta para akademisi dibandingkan dengan model prediksi kebangkrutan yang lainnya.
Dimana :
T1 = working capital / total asset
T2 = retained earnings / total asset
T3 = earnings before interest and taxes / total asset
T4 = market capitalization / book value of debt
T5 = sales / total asset
T1, melihat sejauh mana kemampuan modal kerja (working capital) perusahaan berpengaruh terhadap total aktivanya, modal kerja yang tinggi dapat pula disebabkan banyaknya persediaan atau piutang serta dapat disebabkan banyaknya hutang usaha yang telah jatuh tempo. Pengukuran modal kerja juga dapat dilihat tingkat likuiditas perusahaan yang bersangkutan, dimana modal kerja adalah Aktiva lancar dikurang kewajiban lancarnya.
T2, melihat sejauh mana laba ditahan perusahaan dapat berkontribusi terhadap total aktivanya (atau lebih melihat tingkat perputarannya).
T3, digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba (tingkat pengembalian) dari hasil operasi perusahaan terhadap total aktivanya. Dapat juga dikatakan rasio ini menggambarkan  efisiensi pada dana yang digunakan oleh perusahaan.
T4, mengukur sejauh mana pengukuran pasar (respon pasar) terhadap perusahaan yang dinyatakan melalui salah satu dari struktur permodalannya (hutang).
T5, Menyatakan Asset Turn Over, atau kemampuan perusahaan dalam mengelola seluruh aktiva/ investasi dalam menghasilkan penjualan.
Hasil dari perhitungan tersebut lalu diklasifikasikan, menjadi :
Z > 2.99 – wilayah aman (safe zone)
1.80 < Z < 2.99 – Wilayah yang tidak aman (grey zone)
Z < 1.80 – memasuki wilayah menuju kebangkrutan (distress zone)
Sejak tahun 1985, analisa kemungkinan kebangkrutan menggunakan Z-Score telah diterima dan digunakan oleh auditor, pengadilan dan oleh bank untuk menganalisa pinjaman (Eidleman) dan dapat pula digunakan untuk memprediksi pergerakan dari peringkat obligasi (bond’s rating) (Altman & Rijken (2004)). Walaupun formula ini telah digunakan secara luas, namun pada awal pengembangan,  formula ini hanya dapat digunakan untuk menganalisa perusahaan yang bidang usahanya manufaktur dengan jumlah total asset diatas 1 juta AS. Namun pada perkembangan selanjutnya formula tersebut telah dimodifikasi untuk bisa digunakan pada perusahaan manufaktur non-publik, perusahaan dengan bidang usaha selain manufaktur dan perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa.
Penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan untuk mengukur efektifitas Z-Score telah menunjukkan bahwa formula tersebut memiliki tingkat akurasi diatas 70% (Eidleman).


http://nustaffsite.gunadarma.ac.id/blog/prihantoro/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar